Kurikulum 2013
Posted Fri, 03/08/2013 - 11:20 by
sidiknas
Oleh Mohammad Nuh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Artikel ini Sudah Dimuat di Harian Kompas, Kamis, 7 Maret
2013
By ; www.kemdikbud.go.id
Dalam beberapa bulan terakhir, harian
Kompas memuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra terhadap rencana
implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut.
Saya berkesimpulan, mereka yang mempertanyakan kurikulum
2013 adalah karena ada perbedaan cara pandang atau belum memahami secara utuh
konsep kurikulum berbasis kompetensi yang menjadi dasar Kurikulum 2013.
Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan
berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang
sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama,
bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.
Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam
indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi Abad 21, UU Sisdiknas
juga memberikan arahan yang jelas, bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah
satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan
program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan,
dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan
demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan
kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan).
Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar
dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.
Mengingat pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka
lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan
memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara
mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan dapat dicapai.
Perencanaan Pembelajaran
Dalam usaha menciptakan sistem
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut
dibagi menjadi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta
didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan
kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan
dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.
Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan
harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya kurikulum merupakan
perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas.
Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar
kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.
Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan
pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil
akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan
sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan
kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha
membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran
(proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses),
supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik.
Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran
sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut
sesuai dengan rencana.
Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika
ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan
perubahan kurikulum, karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi
pembelajaran bukan kurikulum. (Mohammad Abduhzen, “Urgensi Kurikulum 2013”,
Kompas, 21/2 dan “Implementasi Pendidikan”, Kompas, 6/3). Hal ini menunjukkan
belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi termasuk
mencakup metodologi pembelajaran.
Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk
kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi
lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai “memiliki (melalui
mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta)
kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif, dalam ranah
konkret dan abstrak, sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya.”
Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian
kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses
pembentukan kompetensi itu, sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para
peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi.
Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di
atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian
KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan Abad 21 serta penyiapan Generasi 2045.
Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, “Gawat
Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum
2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.
Mengatakan tidak ada masalah dengan kurikulum saat ini
adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil pembandingan antara materi TIMSS
2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA,
menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai
dengan kelas VIII SMP.
Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai dengan
tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi matapelajaran
dan tumpang tindih yang tidak diperlukan pada beberapa materi matapelajaran,
kecepatan pembelajaran yang tidak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya
materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik kurang
dilatih bernalar dan berfikir.
Kompetensi Inti
Kompetensi lulusan jenjang satuan
pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk
pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan
proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi
jadi beberapa tahap sesuai dengan jenjang kelas di mana kurikulum tersebut
diterapkan.
Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak tangga yang
harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan
pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik
yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas.
Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga menuju ke
kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan
peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai
anak tangga menuju ke kompetensi lulusan multidimensi, kompetensi inti juga
memiliki multidimensi. Untuk kemudahan operasionalnya, kompetensi lulusan pada
ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk
peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait
tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab.
Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk
dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan.
Setiap mata pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti yang telah dirumuskan.
Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas
tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti.
Ibaratnya, kompetensi inti merupakan pengikat
kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan mempelajari setiap mata
pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata
pelajaran.
Dengan pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari
mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran tertentu. Kompetensi inti
merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah
pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses
pembelajaran yang tepat, menjadi kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi
inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan ada kritikan bahwa
Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada “Kompetensi Inti Bahasa
Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang mencerminkan kompetensi Bahasa
Indonesia, karena memang tidak ada yang namanya kompetensi inti Bahasa
Indonesia, sebagaimana yang dipertanyakan Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk
Wapres” (Kompas, 2/3).
Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata
pelajaran diuraikan menjadi kompetensi dasar-kompetensi dasar yang
dikelompokkan menjadi empat. Ini sesuai dengan rumusan kompetensi inti
yang didukungnya, yaitu dalam kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi
sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.
Uraian kompetensi dasar sedetil ini adalah untuk memastikan
bahwa capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan
harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap.
Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap
bukanlah untuk peserta didik, karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak
dihafalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam
mengajarkan mata pelajaran tersebut, ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang
terkandung dalam materinya. Apabila konsep pembentukan kompetensi ini dipahami,
dapat mengurangi bahkan menghilangkan kegelisahan yang disampaikan L. Wiliardjo
dalam “Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas, 22/2)
Kedudukan Bahasa
Uraian rumusan kompetensi seperti itu
masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum SD
(jenjang sekolah paling rendah), tempat dimana peserta didik mulai
diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat memulainya pun,
peserta didik SD masih belum terlatih berfikir abstrak. Dalam kondisi seperti
inilah, maka terlebih dahulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan
sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik
yang masih mulai belajar berfikir abstrak.
Di sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran
mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta
didik.
Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam
teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai
penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan kata lain, kandungan materi
mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang
sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik
integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi
dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan.
Dengan cara ini pula, maka pembelajaran Bahasa Indonesia
dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran
Bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia kurang
diminati oleh pendidik maupun peserta didik.
Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual,
peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara
logis dan sistematis. Mengatakan kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD, yang
memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman peserta didik, terhadap ilmu
pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres”),
sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu
pengetahuan.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang
pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi
belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Rumusannya berdasarkan pada sudut
pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi, sehingga sangat
dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya
dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang
terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu ada baiknya memahami
lebih dahulu terhadap konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang
telah digariskan UU Sisdiknas, sebelum mengkritik. (***)